Nenek Pakande adalah seorang nenek siluman yang sering menjadi momok bagi masyarakat Bugis di daerah Soppeng, Sulawesi Selatan. Nenek Pakande ini konon sering memangsa bayi-bayi. Dalam bahasa Bugis, kata pakande berasal dari kata pakkanre-kanre tau yang berarti suka memakan daging manusia. Berikut adalah kisahnya.
***
Alkisah di suatu daerah di Soppeng
(sebuah Kabupaten di Sulawesi Selatan), terdapat suatu desa dengan rakyatnya
sangat bersahabat, senantiasa hidup tentram, damai, dan sejahtera. Hampir atau
bahkan seluruh masyarakat yang tinggal di daerah itu bermata pencaharian
sebagai seorang petani. Setiap hari mereka berbondong-bondong ke sawah untuk
bertani di lahan mereka masing-masing.
Pada suatu ketika, desa yang terkenal
tentram tersebut terusik oleh seorang nenek tua yang rambutnya berwarna
putihmemakai konde di kepalanya, wajah yang keriput, dengan badan yang setengah
membungkuk, lalu memakai sarung batik dan kemeja. Sekilas terlihat nenek itu
hanyalah seorang nenek tua yang biasa-biasa saja yang sedang mencari tempt tinggal.
Tapi siapa yang menyangka bahwa nenek tua itu adalah seorang siluman yang suka
memangsa daging manusia terlebihnya daging anak-anak. Dengan karakternya yang
dikenal seperti itu, maka warga setempat pun menamai nenek itu dengan sebutan
Nenek Pakande (diambil dari bahasa Bugis yaitu kata manre yang berarti makan).
Biasanya Nenek Pakande itu berkeliaran keliling kampung untuk mencari mangsa
pada hari ketika sang fajar sudah mulai tenggelam.
Suatu sore saat hari sudah mulai gelap,
ada sepasang saudara kakak beradik yang tengah seru bermain di sekitar halaman
rumah mereka
“Nak, ayo cepat masuk ke rumah ini
sudah malam!” Seru ibunya dari balik pintu.
Akan tetapi kedua bersaudara itu
sedikit pun tak menghiraukan apa yang diperintahkan oleh ibunya dan kemudian
kembali lagi bermain. Mereka hanya memanggap perintah ibunya hanyalah angin
yang berhembus begitu saja. Tidak lama kemudian, ibu dari kedua anak itu pun
sejenak menghampiri kedua anaknya dan menyuruhnya masuk, tetapi kedua anak itu
tetap saja membandel. Dan ibu itu pun kembali masuk ke rumahnya dan membiarkan
anak-anaknya bermain.
Tanpa ibu itu menyadari bahwa anaknya
sedang dipantau dari jarak jauh oleh Nenek Pakande. Melihat suasana yang sangat
sunyi, tak ada seorang pun yang berlalu-lalang di sekitar tempat itu, Nenek
Pakande mempergunakan waktu itu untuk menculik kedua anak tersebut lalu
dijadikannya mangsa.
Berselang waktu kemudian, ibu dua orang
anak tersebut keluar dan didapatinya kedua anaknya sudah tak ada di tempatnya
lagi. Lalu ia mencari ke seluruh penjuru rumahnya tetapi ia tak menemukan
anaknya sekali pun. Ia pun bergegas keluar rumah sambil teriak minta tolong.
“Tolong…..tolong…..tolong….. Anakku
hilang!” dengan suara yang tersedu-sedu sambil menangis.
“Ada apa bu? Apa yang terjadi dengan
anak ibu?” sapa salah satu warga setempat.
Lalu ibu itu pun menceritakan apa-apa
yang telah terjadi dengan anak-anaknya kepada bapak itu. Kemudian bapak itu
segera memanggil warga untuk membantunya mencari. Lambat laung pun warga sudah
terkumpul banyak, siap untuk melakukan pencarian menelusuri kampung-kampung
dengan alat penerangan seadanya.
Hingga larut malam pun tiba, kedua anak
tersebut tak kunjung jua ditemukan. Akhirnya kepala kampung yang memimpin
pencarian tersebut meminta pencarian itu dihentikan sementara.
Keesokan harinya saat pencarian akan
dilakukan kembali, tiba-tiba ada laporan dari seorang warga yang kehilangan
bayinya, ketika saat itu orang tua bayi tersebut sedang tertidur nyenyak. Warga
setempat pun semakin resah dengan kejadian yang saat ini menimpa desa mereka.
Ketika malam tiba para orang tua tidak
bisa menutup kedua kelopak matanya karena dihantui rasa cemas. Mereka harus
memantau anak-anak mereka serta menjaganya hingga pagi menjemput.
Saat para warga berkumpul di suatu
titik di desa mereka, mereka menceritakan setiap kekhawatiran yang mereka alami
saat malam hari tiba. Mereka bingung, siapa dalang di balik penculikan
misterius ini.
Seketika ada seorang warga yang
mengusulkan untuk pergi ke rumah Nenek Pakande. Karena warga setempat tahu
bahwa Nenek Pakande adalah seorang pemangsa anak-anak.
“Kenapa kita hanya berdiam diri saja di
sini, kenapa kita tidak langsung saja beramai-ramai ke rumah Nenek Pakande itu?
Karena besar kemungkinan dia yang telah menculik anak-anak yang ada di desa
kita.”
“Hei, bukankah Nenek Pakande itu adalah
seseorang yang sangat sakti, karena dia memiliki kekuatan gaib yang sulit untuk
ditaklukkan.” Tentang salah seorang warga lainnya.
“Ya benar juga, Nenek Pakande adalah
seorang siluman yang sangat sakti, tak ada seorang manusia biasa pun yang bisa
mengalahkan kesaktiannya. Setauku Nenek Pakande hanya takut kepada sosok
raksasa yang bernama Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale. Tetapi sekarang entah
di mana raksasa itu berada. Kabar serta seluk beluk tubuhnya pun tak pernah
lagi terdengar dan terlihat.” Jawabnya seorang warga lagi.
Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale
adalah sesosok raksasa yang tingginya diperkiran 7 hasta dengan badan yang
sangat besar, dia juga suka memakan daging manusia. Akan tetapi dia adalah
raksasa yang baik hati, hanya memakan manusia yang bersifat buruk dan manusia
yang tidak disukainya.
“Lantas apa yang harus kita perbuat
sekarang untuk memusnahkan Nenek Pakande itu?” melanjutkan pertanyaan.
Tak seorang pun dari mereka yang ingin
angkat bicara, suasana saat itu tiba-tiba menjadi diam, penuh kecemasan dan
kekhawatiran, dan mereka kebingungan tentang masalah itu.
Di tengah-tengah kecemasan tersebut,
seorang pemuda yang berdiri di tengah-tengah sekumpulan warga pun angkat
bicara. Pemuda tersebut bernama La Beddu, dia adalah pemuda yang cerdik,
pandai, lagi berani. Dia dikenal warga sebagai pemuda yang ramah, taat
beribadah, dan suka membantu orang yang sedang tertimpa masalah.
“Maaf para warga-warga desa jika saya
lancang, tapi saya punya suatu cara untuk mengenyahkan Nenek Pakande dari desa
kita.”
Suasana pun menjadi hening seketika.
Timbullah ribuan harapan yang tertimbun di dalam diri setiap warga, tapi tidak
sedikit pula warga yang memandangnya sebelah mata dengan pandangan yang merendahkan,
karena mereka tidak yakin bahwa La Beddu bisa mengalahkan Nenek Pakande.
“Hai La Beddu, apa kuasamu? Kamu
hanyalah pemuda biasa yang tidak memiliki kesaktian sedikit pun, dibandingkan
dengan Nenek Pakande yang kesaktiannya sangat kuat.” Jawab seorang warga selaku
merendahkan.
La Beddu kemudian diam dan tersenyum
dan melanjutkan pembicaraan dengan nada yang tenang.
“Tidak selamanya kesaktian harus
dilawan dengan kesaktian pula. Kita sebagai manusia diberi akal untuk
berfikir.” Jelas La Beddu.
“Apa sekiranya maksudmu itu La Beddu?
Apakah kamu tak takut sedikit pun dengan Nenek Pakande?” Tanya warga tersebut sekali
lagi.
“Maksud saya, kita bisa melawan Nenek
Pakande tidak harus ketika kita memiliki kesaktian yang kuat. Kita bisa
melawannya dengan akal cerdik kita. Jika kita saling bahu membahu melawannya,
yakinlah bahwa kita bisa mengenyahkannya. Maka dari itu siapkan saya beberapa
ekor belut dan kura-kura, salaga (garu), busa sabun satu ember, kulit rebung
yang sudah kering, dan sebuah batu besar. Dan setelah itu kumpulkanlah semua
hewan dan benda-benda itu di rumah saya.” Seru La Beddu.
“Untuk apa hewan beserta benda-benda
tersebut La Beddu?” Tanya warga lainnya.
“Nantilah kalian mengetahuinya setelah
apa yang ku perintahkan telah terkumpul semua di rumahku.” Jawab La Beddu.
Seketika pun warga membubarkan diri
mereka masing-masing dan segera mencari apa yang diperintahkan oleh La Beddu.
Ada yang mencari belut di sawah-sawah, kura-kura di sungai, dan yang lainnya
sibuk membuat salaga dan menyiapkan busa sabun satu ember. Setelah semuanya
terkumpul, barulah mereka menuju ke rumah La Beddu dan mengumpulkan semua apa
yang telah diperintahkannya.
“Hai La Beddu, sekarang jelaskan kepada
kami apa guna barang yang telah engkau suruhkan kepada kami!” seru seorang
warga.
La Beddu pun kemudian menjelaskan apa
guna dari barang-barang tersebut. Selaga akan dia jadikan menyerupai sisir dan
kura-kura sebagai kutu raksasa. Busa sabun ia akan jadikan menyerupai air liur,
kulit rebung sebagai terompet atau pembesar suara agar menyerupai suara besar
seorang raksasa. Adapun belut dan batu besar akan di tempatkan di depan pintu
dan di bawah tangga. Itu semua aku perintahkan agar kita bisa mengelabui Nenek
Pakande dengan menyamar sebagai raksasa.
Pada siang hari, La Beddu beserta warga
pun menyusun rencana untuk mengelabui Nenek Pakande. Dua orang utusan
warga diperintahkan untuk menaruh belut dan batu besar di depan pintu dan di
bawah tangga kemudian bersembunyi di bawah rumah panggung.
Setelah matahari sudah mulai tak nampak
lagi dan hari sudah mulai gelap, para warga mengunci rapat-rapat pintu mereka
dan memadamkan lampu pelita mereka. Ini adalah sebagian dari rencana La Beddu
karena ada sebuah rumah yang terletak paling ujung di perkampungan mereka yang
dinamakan Balla Raja, rumah itu adalah rumah panggung yang sangat besar. Di
rumah itu diberikan cahaya lampu yang paling terang agar Nenek Pakande tersebut
terpancing dan menuju ke rumah itu. Salah satu umpan yang lain adalah di
taruhnya anak bayi di dalam suatu kamar tetapi dalam pengawasan ketat warga
setempat. Sementara La Beddu bersembunyi di atas genteng.
Malam itu adalah malam Jum’at, di mana
sinar rembulan sangat terang. Saat Nenek Pakande sudah mulai berkeliaran, dia
heran mengapa semua lampu tak ada satu pun yang menyala keculai rumah yang
bernama Balla Raja. Nenek Pakande pun menghampiri rumah tersebut. Beberapa saat
kemudian setelah Nenek Pakande tiba di depan pintu yang sangat besar dia
mencium aroma seorang bayi dari dalam rumah tersebut. Tanpa berpikir panjang,
Nenek Pakande pun masuk ke dalam rumah tersebut. Tanpa sepengetahuan
Nenek Pakande, 2 orang pemuda tersebut melaksanakan tugasnya dan kembali
bersembunyi. Ketika dia berhadapan dengan pintu kamar yang sangat tinggi dan
besar, Nenek pakande pun semakin merasakan aroma bayi tersebut.
Seketika muncullah suara misterius yang
menyapa Nenek Pakande.
“Hei Nenek Pakande, apa gerangan yang
membuat engkau datang ke mari?” Tanya La Beddu yang menyamar sebagai raksasa
besar Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.
“Saya ingin mengambil bayi yang ada
dibalik pintu besar itu. Siapa kamu?” jawab Nenek Pakande.
“Saya Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo
Ale, dan saya ingin kamu pergi dari desa ini sejauh mungkin karena sudah
meresahkan warga setempat.” Ujar sang raksasa.
“Ahh, saya tidak percaya jikalau kamu
ada raksasa Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.”
Jawab Nenek Pakande dengan menambah
beberapa langkah kakinya selaku mengacuhkan.
La Beddu pun menumpahkan seember busa
sabun yang dipakainya untuk mengelabuhi Nenek Pakande sebagai air liur raksasa.
Lalu memperdengarkan suara mengaumnya.
“Aku lapar Nenek Pakande, lihatlah air
liurku sudah mengalir. Jika kau tak segera enyah dari hadapanku, maka kau akan
menjadi santapanku.”
Dengan dihantui rasa cemas, Nenek
Pakande pun berkata lagi, “Hihihi, saya tidak percaya denganmu, pasti kamu
hanyalah orang biasa yang menyamar sebagai Raja Bangkung Pitu Reppa Rawo Ale.”
La Beddu pun menjatuhkan selaga yang
dibuatnya menyerupai sisir yang besar dan kura-kura secara beruntun.
“Ah.. Kutu ini banyak menggangguku dan
membuat kepalaku gatal saja.” Kata Sang Pemuda yang mengaum.
“ Nenek Pakande, kau jangan membuatku
jadi lebih marah lagi.” Lanjut La Beddu.
Melihat kura-kura dan selaga yang jatuh
ke lantai, membuat nyali Nenek Pakande akhirnya ciut juga. Tanpa menunggu lama,
Nenek pakande pun lari menuju pintu keluar. Tanpa dilihatnya, dia menginjak
seekor belut dan terpeleset jatuh hingga anak tangga yang paling akhir dan
kepalanya terbentur pada batu besar yang telah disiapkan. Tetapi Nenek Pakande
tetap memaksakan diri untuk bangkit kembali. Sebelum meninggalkan desa itu, Nenek
Pakande meninggalkan suatu pesan “Saya akan memantau anak kalian dari atas sana
dengan cahaya rembulan di malam yang sangat gelap. Dan suatu saat nanti saya
akan kembali memangsa anak-anak kalian.”
***
Pesan moral yang dapat kita ambil dari cerita ini salah satunya adalah keutamaan menggunakan akal sehat yang ditunjukkan oleh sikap La Beddu.